Home » » Konsep dasar Cukai

Konsep dasar Cukai

Written By Jacks on Jumat, 30 Januari 2015 | 12.17


A.       Latar Belakang Undang-undang Cukai
 


Cukai adalah salah satu instrumen fiskal yang memiliki kedudukan cukup penting sebagai alat pengumpul penerimaan negara. Disamping itu, cukai juga memiliki fungsi sebagai alat kontrol yang bertujuan membatasi konsumsi terhadap barang-barang yang dianggap memiliki dampak negatif. Berdasarkan historis, cukai di Indonesia sudah dipungut sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda sekitar tahun 1886. Hal ini tidak begitu mengherankan, karena bangsa Holland (bagian dari negara Netherland) adalah yang pertama kali mengembangkan pungutan cukai dalam bentuk pungutan pajak modern yang dikelola oleh penguasa setempat pada sekitar abad ke 17. Kemudian disusul Inggris yang menetapkan aturan tentang pungutan cukai secara resmi dalam bentuk perundang-undangan pada tahun 1643 dalam rangka meningkatkan pendapatan pemerintahnya. Pemerintah Amerika Serikat memberlakukan pungutan cukai pertama kali terhadap produk distilled spirits (minuman beralkohol) pada tahun 1791 (Encarta, 2006).
1.         Ordonansi Cukai dan Pembentukan UU Nomor 11 tahun 1995
Sejak akhir tahun 1995, Indonesia sebagai bangsa yang merdeka telah memiliki Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai. Sebelum berlakunya Undang-undang tersebut, Indonesia masih menggunakan aturan undang-undang warisan kolonial Belanda. Perjalanan panjang proses penyusunan Undang-undang Cukai telah membuahkan hasilnya. Pada tanggal 30 Desember 1995 Undang-undang Cukai disahkan. Hal ini sekaligus menunjukan kemandirian Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.
Selanjutnya UU Cukai ini secara efektif mulai diberlakukan pada tanggal 1 April 1996. Masa transisi selama kurang lebih enam bulan tersebut dikondisikan dengan tujuan agar para pegawai DJBC dan masyarakat dunia usaha yang berkepentingan terhadap BKC dapat mengetahui dan memahami serta menyesuaikan diri dengan peraturan perundang-undangan cukai yang baru.
Sebelum berlakunya Undang-undang Nomor 11 tahun 1995, Indonesia pernah menggunakan aturan undang-undang warisan kolonial Belanda. Tercatat, ada lima jenis undang-undang Kolonial Belanda yang mengatur pungutan cukai. Secara historis, undang-undang tersebut menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari konsepsi dasar penyusunan Undang-undang Cukai tahun 1995. Adapun kelima jenis Undang-undang Cukai lama tersebut, adalah:
1)     Ordonansi Cukai Minyak Tanah (Ordonnantie van 27 Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249 dan Ordonnantie van 11 Mei 1908 stbl. 1908 No.361);
2)     Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (Ordonnantie van 27 Februari 1898, Stbl.1898 Nomor 90 en 92 dan Ordonnantie van 10 Juli 1923 stbl. 1923 No.344);
3)     Ordonansi Cukai Bir (Bier Accijns Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor 488 en 489);
4)     Ordonansi Cukai Tembakau (Tabacs Accijns Ordonnantie, Stbl 1932 Nomor 517); dan
5)     Ordonnantie Cukai Gula (Suiker Accijns Ordonnantie, Stbl. 1933 nomor 351).
Dengan perkembangan jaman yang semakin maju dan juga tuntutan kemandirian sebagai bangsa yang merdeka maka Undang-undang Cukai yang lama tersebut tidak lagi cocok untuk diterapkan. Disamping itu, Ordonansi cukai lama memiliki beberapa kelemahan yang dapat diidentiifikasikan antara lain sebagai berikut:
1)      diskriminatif ;
2)      objeknya terbatas ;
3)      tidak dapat memenuhi tuntutan Pembangunan ; dan
4)      tidak dapat memenuhi perannya sebagai alat pembaharuan sosial.
Dikatakan “diskriminatif karena Undang-undang Cukai yang lama memberlakukan Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan, hanya di Jawa dan Madura saja. Pemberlakuan tidak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu masih terbatas. Konsekuensinya, pemakaian atas Alkohol Sulingan di luar Jawa dan Madura, cukainya tidak dipungut.
Pengertian “objek cukainya dikatakan terbatas, karena didalam Undang-undang Cukai tersebut tidak dimungkinkan dilakukannya pengembangan objek cukai baru. Apabila suatu saat negara memerlukan dana yang lebih besar dari cukai guna membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintahan atau karena alasan pengaturan terhadap objek barang tertentu, maka yang dapat dilakukan adalah membentuk Undang-undang Cukai baru yang spesifik menunjuk pada BKC-nya.
Demikian pula Undang-undang Cukai yang lama yang merupakan warisan dari Pemerintah Hindia Belanda, tidak dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan sebagai alat pembaharuan sosial. Hal ini karena pemerintah Kolonial Belanda menganggap Indonesia sebagai daerah jajahannya, sehingga penerapan undang-undangnya senantiasa dikaitkan dengan :
1)      politik, ekonomi dan sistem hukum yang semata-mata untuk kepentingan pemerintah Kolonial Belanda ;
2)      kepentingan pemerintah Hindia Belanda yang menganggap Indonesia sebagai daerah jajahannya;
3)      Indonesia (Hindia Belanda) merupakan daerah eksploitasi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (kerja paksa/tanam paksa).
Peraturan perundang-undangan cukai yang lama dirasakan tidak lagi dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan era globalisasi yang dewasa ini sedang berkembang. Disamping itu adanya kehendak pemerintah untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional dengan berlandaskan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pemerintah memerlukan suatu Undang-undang Cukai yang baru. Hal ini juga menunjukan kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat.
2.         Prinsip Dasar Dalam Penerapan Undang-undang  CukaiBaru
Didalam memberlakukan perundang-undangan cukai yang baru (UU No. 11 tahun 1995 jo. UU Nomor 39 tahun 2007) menganut beberapa prinsip sebagai berikut :
1)     Keadilan dalam keseimbangan; artinya bahwa implementasi pengenaan cukai harus jelas dan tegas, dimana pembebanannya hanya pada produk yang telah ditentukan dan kepada orang-orang yang memang seharusnya diwajibkan untuk itu serta perlakuan kepada pihak terkait harus sama dan dalam kondisi yang sama, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)     Pemberian Insentif berupa fasilitas pembebasan cukai diberikan terhadap pengusaha barang kena cukai tertentu dan “tidak dipungutnya” cukai diberikan atas Barang Kena Cukai tertentu pula, serta harus bermanfaat bagi pertumbuhan perekonomian nasional.
3)     Pembatasan produksi dan juga konsumsi masyarakat terhadap barang kena cukai melalui instrumen tarif yang ada, bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dibidang kesehatan, keamanan dan ketertiban lingkungan.
4)     Netral, dimana dalam pemungutan cukai tersebut diharapkan tidak akan menimbulkan distorsi pada perekonomian Nasional.
5)     Kelayakan administrasi mengandung arti bahwa dalam pelaksanaan pemungutan cukai, hendaknya administrasi cukai dilakukan secara tertib, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh anggota masyarakat.
6)     Kepentingan penerimaan negara dalam arti fleksibilitas ketentuan Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai melalui berbagai perhitungan yang tepat dan matang, sehingga dapat menjamin peningkatan penerimaan negara.
7)     Pengawasan fisik dan administrasi dilakukan terhadap barang kena cukai tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik yang berdampak negatif bagi kesehatan dan ketertiban umum serta diterapkannya sanksi yang bertujuan untuk menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai.
Disamping itu undang undang cukai yang baru, juga dapat menampung hal-hal yang sebelumnya tidak ada, yaitu antara lain:
1)     adanya pasal yang memungkinkan penambahan dan pengurangan objek cukai.
2)     adanya pemberian fasilitas dibidang cukai, berupa:
§  Tidak dipungut cukai ; dan
§  Pembebasan cukai sebesar 100 %.
3)     adanya sanksi administrasi
4)     adanya audit dibidang cukai
5)     adanya Lembaga Banding (Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai)
6)     adanya ketentuan pidana, yaitu dalam hal: Tidak mengkualifikasi delik dalam pelanggaran dan kejahatan, mengatur kedaluwarsa penuntutan (10 tahun), dan hukuman penjara sebagai pengganti denda.
3.         Fungsi dan Tujuan Pengenaan Cukai
            Cukai merupakan salah satu penerimaan pajak  yang memiliki karakteristik berbeda dengan penerimaan pajak lainnya. Perbedaan karakteristik yang paling utama adalah adanya sifat diskriminatif atau pemilihan yang selektif terhadap objek yang dikenakan pungutan cukai. Secara umum, ada dua kontribusi utama pungutan cukai terhadap pembangunan. Kontribusi pertama berkaitan dengan fungsi cukai sebagai alat  budgetair pemerintah. Kontribusi yang kedua berkaitan dengan fungsi cukai sebagai alat  regulerend.
a.   Fungsi Cukai Sebagai Alat Budgetair
            Cukai merupakan salah satu jenis pungutan pajak yang memiliki peranan cukup strategis sebagai sumber penerimaan negara. Dalam struktur penerimaan APBN, cukai termasuk dalam kelompok penerimaan pajak dalam negeri bersama-sama dengan penerimaan pajak lainnya, antara lain: PPN, PPh, PBB dan pajak lainnya. Peran strategis cukai dalam pembangunan berkaitan dengan fungsi budgetair dapat diilustrasikan dalam Tabel 1.1 berikut.


Tabel I.1
Kontribusi Penerimaan DJBC Terhadap Penerimaan Perpajakan
TAHUN
2007
2008
2009
2010
2011
2012*
Rata-Rata
Penerimaan Perpajakan
    490.988
   658.700
   619.922
  723.307
   873.874
  1.016.237

Cukai

44.679

 51.252

 56.719

66.166

77.010

83.267

Kontribusi Cukai (%)
                 9,10
                7,78
                9,15
               9,15
8,81
8,19
           8,70

Bea Masuk

16.699

 22.764

18.105

20.017

25.266

 24.738
Kontribusi Bea Masuk (%)
                 3,40
                3,46
                2,92
               2,77
                2,89
                   2,43
           2,98

Bea Keluar

 4.237

13.578

 565

8.898

28.856

23.206
Kontribusi Bea Keluar (%)

0,86

2,06

0,09

1,23

3,30

2,28

1,64
Ket: *Data APBN


Berkaitan dengan pengelolaan fiskal oleh DJBC, cukai merupakan. salah satu dari tiga jenis pungutan negara yang dipungut oleh DJBC. Ketiga jenis pungutan pajak yang dipungut dan dikelola administrasinya oleh DJBC adalah bea masuk, bea keluar dan cukai. Kontribusi cukai memiliki peran yang sangat strategis khususnya dari sisi penerimaan DJBC.  Penerimaan yang dihimpun oleh DJBC sebagian besar diperoleh dari sektor cukai dan secara nominal nilainya selalu lebih besar dibanding penerimaan bea masuk atau bea keluar dari waktu ke waktu. Berdasarkan data pada tabel 1.1, proporsi penerimaan cukai sejak tahun 2007 rata-rata hampir tiga kali lipat  dari penerimaan bea masuk. 
Disisi lain, kontribusi penerimaan cukai terhadap penerimaan perpajakan juga memiliki andil yang cukup signifikan. Berdasarkan resume yang ditampilkan pada tabel 1.1, terlihat bahwa sejak tahun 2007 hingga tahun 2012, kontribusi pungutan cukai mencapai rata-rata 8,70% dari total penerimaan perpajakan. Angka ini jauh lebih besar bila dibandingkan angka kontribusi bea masuk atau bea keluar.
b.         Fungsi Cukai Sebagai Alat Regulerend
            Disamping berfungsi sebagai alat pengumpul penerimaan negara, cukai juga berfungsi sebagai instrumen kontrol pemerintah terhadap pola perilaku konsumsi terhadap Barang Kena Cukai. Kebijakan strategis pemerintah terhadap pungutan cukai tidak semata-mata ditujukan untuk kepentingan penerimaan negara, namun pemerintah juga memperhitungkan tujuan-tujuan lain seperti kesehatan masyarakat, pengendalian dampak sosial, dan sebagainya.
B.       Definisi Cukai dan Karakteristik BKC



1.     Definisi Cukai
Keberadaan pungutan cukai sebagai salah satu jenis pajak yang dipungut oleh otoritas negara, tidak lepas dari konsep pungutan pajak secara umum. Cukai adalah salah satu jenis pajak yang dipungut oleh negara terhadap benda atau barang tertentu. Definisi pajak menurut Prof. Adriani (dalam Brotodihardjo, 1995) adalah :
“iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya, menurut  peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.”
Konsep ini menitikberatkan definisi pajak dari sudut pandang budgetair, artinya bahwa pajak dimaksudkan sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
Sama halnya dengan pungutan pajak-pajak lainnya, maka perlakuan pungutan cukai oleh pemerintah haruslah didasarkan atas undang-undang. Ketentuan pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 (hasil amandemen ke-4) menyatakan bahwa: ”Pajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan Undang-undang”. Selanjutnya ketentuan dasar ini ditindaklanjuti dengan menyusun Undang-undang nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai, yang telah diamandemen dengan Undang-undang nomor 39 Tahun 2007.
Pasal 1 ad.1.  UU Cukai :
Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai.
Menurut Undang-undang Nomor 39 tahun 2007 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai, definisi cukai dapat ditemukan dalam pasal 1 UU Cukai.
Definisi ini memberikan penekanan bahwa konsep dasar cukai pada hakekatnya adalah pungutan pajak yang bersifat objektif. Pengertiannya bahwa, sifat pungutan cukai berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri dari si wajib cukai (subjeknya). 
a.      Azas Pemungutan Pajak
Prof. Rachmat Soemitro dalam bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, Soemitro (1977) memberikan pandangan mengenai azas pemungutan pajak yang dibedakan menjadi tiga azas utama, yaitu:
1)     Azas domisili. Suatu pemungutan pajak dapat digantungkan pada domisili (tempat kediaman) dari wajib pajak di suatu negara. Berdasarkan azas ini, suatu negara berhak untuk mengenakan pungutan pajak terhadap setiap orang yang berdomisili di wilayahnya atas semua pendapatan yang diperolehnya, dimana saja (world wide income). Dengan kata lain, orang asing pun dapat dikenakan pungutan pajak jika berdomisili di Indonesia, tanpa harus menjadi warga negara Indonesia.
2)     Azas sumber. Suatu pemungutan pajak yang digantungkan kepada adanya sumber-sumber pendapatan yang diperoleh di suatu negara. Menurut azas ini, maka pemerintah Indonesia berhak mengenakan pajak atas sumber-sumber pendapatan yang berada di Indonesia. Contoh: warga negara asing bekerja di Indonesia, maka atas penghasilan yang diperolehnya tersebut pemerintah berhak memungut pajak.
3)     Asas kebangsaan. Suatu pemungutan pajak yang digantungkan kepada status kewarganegaraan dari seseorang yang memiliki pendapatan. Konsep pendapatan yang diperoleh dimanapun seseorang berada (world wide income) akan menjadi objek pemungutan pajak oleh pemerintah dimana kewarganegaraan orang tersebut berada. Azas ini diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap penghasilan para warga negaranya. 
b.     Azas Pungutan Cukai
Berdasarkan konsep pembedaan pajak menurut Prof. Adriani (dalam Brotodihardjo, 1995), cukai tergolong sebagai pajak objektif yang dipungut berdasarkan pemakaian (pajak atas konsumsi). Ciri khas dari jenis pajak objektif ini terletak pada titik tangkap utamanya, yaitu objek berupa benda, keadaan, peristiwa atau perbuatan. 
Undang-undang nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai memberikan batasan pemungutan cukai terhadap Barang Kena Cukai (BKC) yang dibuat di Indonesia atau yang diimpor ke Indonesia. Ketentuan ini secara spesifik diatur dalam pasal 3 Undang-undang Cukai, yang sekaligus memberikan pengertian mengenai “titik tangkap (tatsbestaand)” mulai timbulnya utang cukai.  Secara yuridis titik tangkap pungutan cukai terjadi pada dua kondisi :
a)     pada saat selesai dibuat, atas BKC yang dibuat di Indonesia
b)     pada saat pemasukannya ke dalam Daerah Pabean, atas BKC yang diimpor sesuai dengan Undang-undang Kepabeanan
Menganalogikan pada pendapat Prof. Soemitro mengenai azas pemungutan pajak, maka azas pungutan cukai yang berlaku di Indonesia pada hakekatnya menerapkan azas domisili. Cukai hanya dipungut terhadap BKC yang dibuat di Indonesia atau yang dimasukan ke daerah pabean Indonesia. Sebagai pajak atas konsumsi, pungutan cukai hanya dikenakan terhadap BKC yang dikonsumsi oleh setiap orang yang berdomisili di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia atau orang asing.
Referensi rujukan terhadap konsep azas domisili dalam sistem pemungutan cukai dapat dimaknai dari beberapa pasal yang diatur dalam Undang-undang Cukai, antara lain:
a)     Pasal 7 ayat (1): “Cukai atas BKC yang dibuat di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran BKC dari  pabrik atau tempat penyimpanan”.
b)     Pasal 7 ayat 2: “Cukai atas BKC yang diimpor, dilunasi pada saat BKC diimpor untuk dipakai”.
Dalam penjelasan pasal 7, dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan diimpor untuk dipakai adalah dimasukkan ke dalam daerah pabean dengan tujuan untuk dipakai, dimiliki, atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia.
          Menurut konsep azas domisili, pungutan cukai dikenakan terhadap perbuatan mengkonsumsi BKC oleh siapapun, baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah hukum Indonesia. Dengan demikian, BKC yang dikeluarkan dari wilayah hukum Indonesia tidak akan dipungut cukai. Undang-undang Cukai mengakomodasikan fasilitas tidak dipungut cukai terhadap BKC yang diekspor, diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar negeri dalam Pasal 8 ayat (2).

2.         Karakteristik Cukai
Menurut Undang-undang Cukai, pungutan cukai dikaitkan dengan sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang Cukai. Adapun sifat atau karakteristik dasar pungutan cukai diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Cukai, sebagai berikut:
Pasal 2:
Barang-barang tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:
a.         konsumsinya perlu dikendalikan;
b.        peredarannya perlu diawasi;
c.         pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat atau lingkungan hidup; atau
d.        pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan dan keseimbangan.  
dikenai cukai berdasarkan undang-undang ini.



a.    Konsumsinya perlu dikendalikan
            Salah satu prinsip dasar pemungutan cukai yang berlaku universal adalah adanya maksud “pembatasan” terhadap konsumsi suatu produk. Otoritas negara menghendaki agar masyarakatnya tidak mengkonsumsi secara berlebihan terhadap suatu produk. Alasannya dapat bermacam-macam, antara lain: karena alasan kesehatan, sumber daya yang terbatas, dan sebagainya.
            Indonesia termasuk salah satu negara yang menggunakan alasan pembatasan konsumsi dalam sistem pemungutan cukai. Pungutan cukai dipakai sebagai instrumen fiskal yang akan membatasi konsumsi terhadap barang-barang yang dapat merusak kesehatan, seperti: etil alkohol, minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan produk hasil tembakau.  Pungutan cukai cocok digunakan sebagai instrumen pengendali konsumsi terutama di negara-negara berkembang oleh karena pola behaviour konsumsi masyarakatnya cenderung price sensitively. Apabila beban cukai diterapkan dalam besaran yang tepat maka pola konsumsi masyarakat cenderung akan menurun. 
            Khusus terhadap produk hasil tembakau, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan warning yang cukup tegas kepada otoritas negara-negara anggotanya mengenai bahaya rokok bagi kesehatan. WHO telah merintis suatu Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sejak tahun 1999. Pada akhirnya FCTC berhasil disepakati pada tanggal 28 Mei 2003 di Genewa dan mulai diberlakukan tanggal 27 Februari 2005.  Hingga bulan Juli 2009, FCTC telah diratifikasi oleh 166 negara. Posisi Indonesia sendiri hingga saat ini masih belum menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut, walaupun kebijakan ke arah tersebut sudah menjadi wacana yang cukup sering dibahas oleh otoritas pemerintah. 
          Adapun hal-hal pokok yang direkomendasikan dalam FCTC sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok dunia, adalah sebagai berikut:
a)     Penerapan pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan. Banyak negara-negara di dunia yang menggunakan cukai sebagai instrumen pengendalian konsumsi produk hasil tembakau. Khusus di Indonesia, pemerintah dapat menerapkan pungutan cukai dengan tarif maksimal sebesar 57% dari harga jual eceran atau 275% dari harga jual pabrik.
b)     Pelarangan penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur. Dampak negatif produk hasil tembakau bagi kesehatan cukup mengkhawatirkan. Beberapa referensi kesehatan menyebutkan bahwa konsumsi rokok menjadi salah satu pemicu utama  berbagai penyakit berbahaya seperti: jantung, stroke,  hipertensi, kanker paru-paru, dan sebagainya. Hasil kajian WHO menyebutkan bahwa tingkat konsumsi konsumsi rokok di negara-negara Asia (negara berkembang) semakin meningkat, terutama pada usia produktif. Kebiasaan merokok pada usia dini biasanya akan terus dibawa hingga memasuki usia remaja karena sifat rokok dapat menimbulkan rasa ketergantungan (addict). Pemerintah Indonesia juga sudah menyadari dan peduli dengan dampak negatif produk hasil tembakau. Bentuk kepedulian pemerintah tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah nomor No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
c)     Pelarangan penjualan produk hasil tembakau dalam batangan atau dalam jumlah kecil.
       Salah satu faktor yang dapat meningkatkan jumlah konsumsi produk hasil tembakau adalah kemudahan akses mendapatkan produk tersebut. Apabila penjualan eceran produk hasil tembakau dilakukan dengan suatu kemasan dalam jumlah kecil maka harganya relatif semakin terjangkau konsumen. Dampaknya akan semakin meningkatkan jumlah konsumsi produk hasil tembakau, karena semakin banyak orang yang mampu membeli produk murah tersebut. 
b.    Peredarannya perlu diawasi
            Objek pungutan cukai tertentu yang memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat perlu dijaga dan diawasi peredarannya. Tujuan utamanya adalah agar tidak menimbulkan gangguan pada kehidupan sosial dan  ekonomi masyarakat. Salah satu objek cukai yang memiliki kriteria ini adalah produk MMEA. Dampak negatif yang dirasakan langsung oleh masyarakat terhadap peredaran MMEA yang tidak terkontrol adalah timbulnya keresahan masyarakat.
            Oleh karenanya otoritas pemerintah menetapkan kebijakan memungut cukai sebagai salah satu upaya untuk mengontrol peredaran MMEA di pasaran. Logika berfikirnya sederhana saja, apabila produk MMEA dikenakan cukai maka harga produk akan menjadi mahal. Harga produk yang mahal akan membatasi akses masyarakat terhadap konsumsi MMEA.
          Lantas, apakah karakteristik ini hanya menyangkut BKC MMEA saja, bagaimana dengan produk hasil tembakau dan etil alkohol? Pertanyaan ini mungkin muncul dalam benak anda.     Kalau melihat dasar alasan pengenaan cukai terhadap etil alkohol, kurang lebih hampir sama dengan dasar alasan pungutan cukai terhadap MMEA. Hanya saja, etil alkohol bukan merupakan produk yang langsung dapat dikonsumsi tetapi digunakan sebagai bahan baku atau bahan penolong untuk keperluan industri.
            Sama seperti MMEA, peredaran etil alkohol juga diawasi oleh pemerintah. Bentuk pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap MMEA dan Etil alkohol, adalah:
§  pada level distributor dan pengecer disyaratkan untuk memiliki ijin di bidang cukai (Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai);
§  pengangkutan BKC etil alkohol dan MMEA walaupun sudah dilunasi cukainya wajib dilindungi dokumen cukai. Untuk etil alkohol, dalam jumlah lebih dari 6 liter dan MMEA dalam jumlah lebih dari 6 liter dan kadar lebih dari 5%.
Khusus untuk produk hasil tembakau, alasan pengenaan cukainya lebih ditujukan pada karakteristik pengendalian konsumsi dan juga karakteristik produk yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Produk hasil tembakau juga dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan individu yang mengkonsumsinya dan juga lingkungan sekitar. Akan tetapi, perlakuan pengawasan terhadap peredaran produk hasil tembakau agak sedikit berbeda.
Sejak berlakunya Undang-undang Cukai pada tahun 1996, pelunasan cukai hasil tembakau diaplikasikan dengan cara pelekatan pita cukai. Cara ini relatif lebih memudahkan dibandingkan BKC yang kewajiban pelunasannya dilakukan dengan pembayaran. Oleh karena status legalitas produk hasil tembakau mudah dikenali, maka pada level distributor maupun pengecer tidak diwajibkan memiliki ijin khusus di bidang cukai. Termasuk tidak adanya kewajiban melindungi dengan dokumen cukai terhadap peredaran produk hasil tembakau.
c.    Pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif
            Bila melihat cukai berdasarkan prinsip dasar yang bersifat universal, pungutan cukai hanya dipungut terhadap barang-barang tertentu (selective coverage) sesuai dengan maksud-maksud yang diinginkan otoritas pemerintah (discremination in intents). Salah satu “intention” yang juga bersifat universal adalah untuk membatasi barang-barang yang dapat berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan.
            Pungutan cukai dapat digunakan sebagai alat atau instrumen fiskal yang akan membebani pihak-pihak yang menggunakan suatu produk yang berpotensi menimbulkan dampak negatif. Ketiga BKC (etil alkohol, MMEA dan hasil tembakau) yang menjadi pilihan pemerintah Indonesia untuk dikenakan cukai memiliki karakteristik dapat menimbulkan dampak negatif. Etil alkohol dan MMEA memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga dampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Hasil tembakau memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga kesehatan masyarakat secara luas.
          Esensi konsep “berdampak negatif” dalam penerapan pungutan cukai pada hakekatnya memiliki makna yang lebih luas daripada sekedar alasan berdampak negatif terhadap kesehatan saja. Apabila kita melakukan benchmarking dengan sistem pengenaan cukai di negara-negara lain maka akan ditemukan beberapa produk yang mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan. Beberapa jenis barang yang dipungut cukai, dapat dilihat dalam Tabel 1.2.

Tabel I.2
Jenis Barang yang Dipungut Cukai
Berdasarkan Dampaknya
No.
Alasan Pemungutan Cukai
Jenis barang yang dipungut cukai
Negara pemungut
1.
Alasan kesehatan masyarakat
Produk tembakau
Hampir semua negara
Minuman beralkohol
Hampir semua negara
Sugar/saccharine
France, Germany, India, Japan, Singapore, Malaysia
coffee
Japan
tea
Japan
2.
Alasan lingkungan
semen
India, Malaysia
Soap
India, Malaysia
Electricity
Japan
Ban
Malaysia
Bahan perusak ozon (Air Conditioner units)
Thailand, Japan
Battery
India
3.
Alasan menjaga kelestarian sumber daya)
Gasoline
Singapore, Japan
Water
Singapore
Petroleum products
Thailand
Furs (bulu binatang), wood, timber
Japan
Sumber: diolah dari berbagai sumber di web

d.    Pembebanan atas dasar keadilan dan keseimbangan
            Berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang Cukai, pengertian karakteristik ini mengacu pada status cukai sebagai instrumen fiskal yang dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan mewah dan/atau bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok. Tujuan utamanya adalah menjaga keseimbangan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan konsumen yang berpenghasilan rendah.
            Bila dikaitkan dengan instrumen fiskal lainnya maka karakteristik dasar ini  memiliki kemiripan dengan karakteristik dasar pemungutan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM). PPnBM merupakan jenis pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak. Dasar hukum pemberlakuannya satu paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Berbeda dengan objek pungutan cukai, PPnBM dikenakan terhadap  objek berupa:
1)     penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean, dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya; dan
2)     impor BKP yang tergolong mewah.
PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP mewah oleh pabrikan dan pada saat impor BKP mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan setelah itu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan PPnBM, dasar pertimbangan pengenaan PPnBM adalah:
1)     perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2)     perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena Pajak yang tergolong Mewah;
3)     perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau tradisional;
4)     perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
Adapun pengertian BKP Mewah sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang PPN dan PPnBM adalah :
1)     bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan pokok; atau
2)     barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3)     pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat berpenghasilan tinggi; atau
4)     barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5)     apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol
          Dari uraian perbandingan antara cukai dan PPnBM ini dapat disimpulkan bahwa beberapa karakteristik cukai dapat beririsan dengan karakteristik pungutan PPnBM. PPnBM dikenakan dengan alasan dasar “perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi”.  Alasan ini juga ada pada pungutan cukai, yaitu karakteristik “pembebanan atas dasar keadilan dan keseimbangan”. Selain itu, PPnBM dipungut dengan maksud “pengendalian pola konsumsi”. Alasan ini juga ada pada pungutan cukai, yaitu karakteristik “pengendalian konsumsi”.
          Apabila penerapan  cukai dan PPnBM dikenakan pada objek barang yang sama, maka hal ini akan menimbulkan pungutan pajak berganda (double taxation). Knechtle (1979) dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems in International Fiscal Law” mengulas pengertian pajak berganda, sebagai berikut:
1)     dalam arti yang luas, pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta fiskal.
2)     dalam arti yang sempit, pajak berganda adalah semua kasus pemajakan beberapa kali terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Dampak langsung yang ditimbulkan dari pungutan pajak berganda akan dirasakan oleh wajib pajak. Beban pajak yang dipikul menjadi semakin berat.

C.       Konsep Lingkaran Cukai



Dalam konsep perpajakan, timbulnya utang pajak (taatbestand) menjadi titik awal bagi fiskus (pemungut pajak) untuk melakukan proses pengawasan terhadap objek pajak. Selanjutnya, titik pengawasan berikutnya beralih kepada saat pelunasan, fasilitas cukai, saat penagihan, pengembalian hingga kedaluwarsanya pungutan pajak. Rangkaian proses kegiatan inilah yang dikenal sebagai tax circle atau lingkaran pajak. Menganalogikan konsep tax circle tersebut, maka dapat didefinisikan konsep lingkaran cukai. Gambaran sederhana lingkaran cukai, dapat dilihat dalam gambar 1.1 berikut.




1.    Saat Timbulnya Utang Cukai

Proses lingkaran cukai akan selalu diawali dengan timbulnya suatu peristiwa atau perbuatan yang dapat menimbulkan utang pajak (tatbestand). Utang cukai inilah yang menjadi pangkal semua kegiatan. Sebagai ilustrasi: perbuatan membuat BKC akan menimbulkan utang cukai. Selanjutnya ketika BKC tersebut akan dikeluarkan dari pabrik maka muncul kewajiban pelunasan cukai. Akan tetapi dapat saja kewajiban pelunasan tidak perlu dilakukan ketika BKC mendapat fasilitas cukai. Begitu seterusnya, hingga timbulnya kedaluwarsa atas utang cukai yang timbul.  
Timbulnya kewajiban cukai untuk BKC diatur dalam pasal 3 ayat (1) Undang-undang Cukai, sebagai berikut:

Pasal 3 ayat (1):
 Pengenaan cukai mulai berlaku untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia pada saat selesai dibuat dan untuk Barang Kena Cukai yang diimpor pada saat pemasukannya ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan Undang-undang tentang Kepabeanan.



Penegasan saat pengenaan cukai atas suatu barang yang ditetapkan sebagai BKC adalah penting karena sejak saat itulah secara yuridis telah timbul utang cukai sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap barang tersebut sebab terhadapnya telah melekat hak-hak negara. Pengertian yang dapat dipahami dari bunyi pasal tersebut adalah konsep waktu mengenai saat timbulnya utang cukai atas BKC yang dibuat di Indonesia. 
Untuk BKC yang dibuat di Indonesia, terutang cukai pada saat selesai dibuat. Istilah “selesai dibuat” dalam penjelasan pasal ditafsirkan sebagai “saat proses pembuatan BKC itu selesai dengan tujuan untuk dipakai”. Untuk pengertian mengenai istilah saat terutang cukai terhadap BKC impor, pengertiannya sama dengan hal-hal yang dijelaskan dalam Undang-undang  Kepabeanan.
          Bila pengertian selesai dibuat tersebut kita kaitkan dengan masing-masimg BKC maka penulis memaknai pengertian tersebut sebagai berikut:
a)     Pengertian “selesai dibuat” untuk BKC etil alkohol adalah saat proses produksi telah menghasilkan etil alkohol (C2H5OH) atau dalam konsep sederhananya adalah saat etil alkohol tersebut menetes dari tangki-tangki produksi untuk ditempatkan kedalam wadah penampungan atau tangki penyimpanan barang jadi.
b)     Pengertian “selesai dibuat” untuk produk BKC MMEA adalah pada saat MMEA tersebut keluar dari keran-keran produksi untuk ditempatkan ke dalam wadah penampungan atau dikemas secara langsung.
c)     Pengertian “selesai dibuat” untuk produk hasil tembakau adalah pada saat proses produksi hasil tembakau telah menghasilkan produk hasil tembakau yang siap untuk dikonsumsi. Dalam hal ini ada dua pendapat yang berbeda mengenai konsep selesai dibuat. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa saat selesai dibuat untuk hasil tembakau adalah “saat dibungkus untuk penjualan eceran”. Konsep ini dikaitkan dengan fungsi pabrik sebagai tempat dilakukannya produksi hasil tembakau untuk penjualan eceran. Bila dikaitkan dengan konsep “selesai dibuat” dalam Ordonansi Cukai yang lama, pengertian ini harus dimaknai sebagai “saat BKC selesai dikemas untuk penjualan eceran”. 
Pendapat kedua, beranggapan bahwa saat selesai dibuat untuk produk hasil tembakau adalah saat hasil tembakau telah menjadi batang-demi batang atau saat tembakau iris telah dipisahkan dalam satuan gram tertentu. Sebagai contoh: untuk sigaret, saat selesai dibuat adalah saat proses pelintingan dan pemotongan telah selesai sehingga sigaret tersebut sudah berbentuk batang demi batang.  Hal ini dapat dikuatkan dengan adanya kewajiban pabrikan hasil tembakau untuk menyampaian pemberitahuan BKC selesai dibuat (dengan dokumen CK-4C) dalam format laporan jumlah satuan batang hasil tembakau yang diproduksi. Dalam hal BKC yang telah selesai dibuat yang masih berada di dalam pabrik ternyata telah dikonsumsi sebelum dikeluarkan dari pabrik, maka terhadap BKC tersebut dianggap telah dikeluarkan. Oleh karenanya, pengusaha pabrik wajib melunasi utang cukai yang timbul atas BKC yang selesai dibuat tersebut.  Dalam hal ini, petugas Bea dan cukai berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap BKC yang sudah berstatus terutang cukai.  Bentuk pengawasan yang paling sederhana adalah dengan mewajibkan pengusaha pabrik untuk melaporkan jumlah produksi BKC yang dihasilkan setiap harinya dengan menggunakan dokumen CK-4.

2.    Saat Pelunasan Cukai
Ketentuan mengenai saat pelunasan cukai dan cara pelunasan cukai diatur dalam pasal 7 Undang-undang Cukai, yaitu :

Pasal 7 ayat (3):
1)        Cukai atas barang kena cukai yang dibuat di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran barang kena cukai dari pabrik atau tempat penyimpanan.
2)        Cukai atas barang kena cukai yang diimpor dilunasi pada saat barang kena cukai diimpor untuk dipakai.



3.    Saat Penagihan Cukai
Utang Cukai timbul karena adanya suatu peristiwa tatbestand berdasarkan Undang-undang Cukai, yaitu memproduksi BKC di pabrik atau memasukan BKC ke dalam daerah pabean. Untuk BKC yang dibuat di pabrik, timbulnya utang cukai tidak langsung diikuti dengan proses penagihan cukai selama BKC tersebut belum dikeluarkan. Penagihan cukai mulai dilakukan mana kala kewajiban-kewajiban cukai tidak dilunasi setelah 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan.

4.    Perlakuan Fasilitas Cukai
BKC yang selesai dibuat yang masih berada di dalam pabrik, pada dasarnya bisa dikeluarkan dengan mendapat fasilitas cukai. Perlakuan fasilitas cukai merupakan bentuk pengecualian dari kewajiban pembayaran cukai yang timbul. Ada dua bentuk perlakuan fasilitas cukai yang diberikan oleh Undang-undang Cukai, yaitu: fasilitas tidak dipungut cukai (Pasal 8) dan pembebasan cukai (Pasal 9).

5.    Pengembalian Cukai
Untuk mewujudkan rasa keadilan kepada subjek cukai, maka  terhadap kelebihan pembayaran cukai dan juga kondisi-kondisi pembayaran yang tidak seharusnya dilakukan diberikan perlakuan pengembalian. Pasal 12 UU Cukai mengatur secara eksplisit kategori pembayaran cukai yang mendapat pengembalian. 

6.     Saat Kedaluwarsanya Utang Cukai
Alur proses terakhir yang terkait dengan konsep lingkaran cukai adalah penetapan masa kedaluwarsanya suatu tagihan cukai. Pengertian kedaluwarsa adalah jangka waktu berakhirnya bagi negara untuk melaksanakan hak penagihan atas utang cukai. Kedaluwarsa tagihan cukai menjadi titik terakhir yang menyebabkan utang cukai menjadi selesai.
Pasal 13 Undang-undang Cukai memberikan penegasan waktu berkaitan dengan kedaluwarsa hak menagih pungutan cukai, sebagai berikut:

Pasal 13:
1)    Hak menagih utang berdasarkan Undang-undang ini menjadi kedaluwarsa setelah sepuluh tahun sejak timbulnya kewajiban membayar;
2)    Masa kedaluwarsa sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal ada pengakuan utang.

 

 SUMBER : Bahan Ajar Pengantar Cukai, Suronoi
Share this article :

0 comments:

Posting Komentar

 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. MOVE IT!!! - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger