A. Latar Belakang Undang-undang
Cukai
1.
Ordonansi Cukai dan
Pembentukan UU Nomor 11 tahun 1995
Sejak
akhir tahun 1995, Indonesia sebagai bangsa yang merdeka telah memiliki
Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai. Sebelum berlakunya
Undang-undang tersebut, Indonesia masih menggunakan aturan undang-undang
warisan kolonial Belanda. Perjalanan panjang proses penyusunan Undang-undang
Cukai telah membuahkan hasilnya. Pada tanggal 30 Desember 1995 Undang-undang
Cukai disahkan. Hal ini sekaligus menunjukan kemandirian Indonesia sebagai
bangsa yang merdeka.
Selanjutnya
UU Cukai ini secara efektif mulai diberlakukan pada tanggal 1
April 1996. Masa transisi selama kurang lebih enam bulan tersebut dikondisikan dengan tujuan agar para
pegawai DJBC dan masyarakat dunia usaha yang berkepentingan terhadap BKC dapat mengetahui dan memahami
serta menyesuaikan diri dengan peraturan perundang-undangan cukai yang baru.
Sebelum
berlakunya Undang-undang Nomor 11 tahun 1995, Indonesia pernah menggunakan aturan undang-undang warisan kolonial
Belanda. Tercatat, ada lima jenis undang-undang Kolonial Belanda yang mengatur
pungutan cukai. Secara historis, undang-undang
tersebut menjadi bagian yang tidak terlepaskan dari konsepsi dasar penyusunan Undang-undang
Cukai tahun 1995. Adapun kelima jenis Undang-undang Cukai lama tersebut,
adalah:
1)
Ordonansi
Cukai Minyak Tanah (Ordonnantie van 27
Desember 1886, Stbl. 1886 Nomor 249 dan Ordonnantie van 11 Mei 1908 stbl. 1908
No.361);
2)
Ordonansi
Cukai Alkohol Sulingan (Ordonnantie van 27 Februari 1898, Stbl.1898 Nomor 90 en 92
dan Ordonnantie van 10 Juli 1923 stbl. 1923 No.344);
3)
Ordonansi
Cukai Bir (Bier Accijns Ordonnantie, Stbl. 1931 Nomor
488 en 489);
4)
Ordonansi
Cukai Tembakau (Tabacs Accijns Ordonnantie, Stbl 1932
Nomor 517); dan
5) Ordonnantie Cukai Gula
(Suiker Accijns Ordonnantie, Stbl.
1933 nomor 351).
Dengan perkembangan
jaman yang semakin maju dan juga tuntutan kemandirian sebagai bangsa yang
merdeka maka Undang-undang Cukai yang lama tersebut tidak lagi cocok untuk
diterapkan. Disamping itu, Ordonansi cukai lama memiliki beberapa kelemahan yang dapat
diidentiifikasikan antara lain sebagai berikut:
1) diskriminatif
;
2) objeknya
terbatas ;
3) tidak
dapat memenuhi tuntutan Pembangunan ; dan
4) tidak
dapat memenuhi perannya sebagai alat pembaharuan sosial.
Dikatakan “diskriminatif” karena Undang-undang
Cukai yang lama memberlakukan Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan, hanya di Jawa
dan Madura saja. Pemberlakuan tidak di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia, karena wilayah kekuasaan pemerintah Hindia Belanda pada saat itu
masih terbatas. Konsekuensinya, pemakaian atas Alkohol Sulingan di luar Jawa
dan Madura, cukainya tidak dipungut.
Pengertian “objek cukainya” dikatakan
terbatas, karena didalam Undang-undang Cukai tersebut tidak dimungkinkan dilakukannya
pengembangan objek cukai baru. Apabila suatu saat negara memerlukan dana yang
lebih besar dari cukai guna membiayai pengeluaran-pengeluaran umum pemerintahan atau karena alasan pengaturan
terhadap objek barang tertentu,
maka yang dapat dilakukan adalah membentuk Undang-undang Cukai baru yang
spesifik menunjuk pada BKC-nya.
Demikian
pula Undang-undang Cukai yang lama yang merupakan warisan dari Pemerintah
Hindia Belanda, tidak
dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan sebagai alat pembaharuan sosial. Hal
ini karena pemerintah Kolonial Belanda menganggap Indonesia sebagai daerah jajahannya, sehingga penerapan undang-undangnya senantiasa dikaitkan dengan :
1)
politik, ekonomi dan sistem
hukum yang semata-mata untuk kepentingan pemerintah Kolonial Belanda ;
2)
kepentingan pemerintah Hindia Belanda yang menganggap Indonesia sebagai daerah jajahannya;
3)
Indonesia (Hindia Belanda) merupakan daerah
eksploitasi baik sumber daya alam maupun sumber daya manusianya (kerja
paksa/tanam paksa).
Peraturan perundang-undangan cukai yang lama dirasakan tidak lagi dapat memenuhi tuntutan pembangunan dan tidak bisa menyesuaikan diri dengan era
globalisasi yang dewasa ini sedang berkembang. Disamping itu adanya kehendak pemerintah untuk mewujudkan peraturan perundang-undangan yang bersifat nasional dengan berlandaskan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945, maka pemerintah memerlukan suatu Undang-undang
Cukai yang baru. Hal
ini juga menunjukan kemandirian sebagai bangsa yang berdaulat.
2.
Prinsip Dasar Dalam
Penerapan Undang-undang CukaiBaru
Didalam
memberlakukan perundang-undangan cukai yang baru (UU No. 11 tahun 1995 jo. UU
Nomor 39 tahun 2007) menganut beberapa prinsip sebagai berikut :
1)
Keadilan
dalam keseimbangan; artinya bahwa
implementasi pengenaan cukai harus jelas dan tegas, dimana pembebanannya hanya
pada produk yang telah ditentukan dan kepada orang-orang yang memang seharusnya
diwajibkan untuk itu serta perlakuan kepada pihak terkait harus sama dan dalam
kondisi yang sama, sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2)
Pemberian
Insentif berupa fasilitas
pembebasan cukai diberikan terhadap
pengusaha barang kena cukai tertentu dan “tidak dipungutnya” cukai diberikan
atas Barang Kena Cukai tertentu pula, serta harus bermanfaat bagi pertumbuhan
perekonomian nasional.
3)
Pembatasan produksi dan juga konsumsi masyarakat terhadap barang kena cukai melalui instrumen tarif
yang ada, bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada masyarakat dibidang
kesehatan, keamanan dan ketertiban lingkungan.
4)
Netral, dimana dalam pemungutan cukai tersebut diharapkan tidak akan
menimbulkan distorsi pada perekonomian Nasional.
5)
Kelayakan
administrasi mengandung arti
bahwa dalam pelaksanaan pemungutan cukai, hendaknya administrasi cukai
dilakukan secara tertib, terkendali, sederhana dan mudah dipahami oleh anggota
masyarakat.
6)
Kepentingan penerimaan negara
dalam arti fleksibilitas ketentuan Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai
melalui berbagai perhitungan yang tepat dan matang, sehingga dapat menjamin
peningkatan penerimaan negara.
7)
Pengawasan
fisik dan administrasi dilakukan terhadap barang kena cukai
tertentu yang mempunyai sifat dan karakteristik yang berdampak negatif bagi
kesehatan dan ketertiban umum serta diterapkannya sanksi yang bertujuan untuk
menjamin ditaatinya ketentuan yang diatur dalam Undang-undang Nomor 11 tahun
1995 tentang Cukai.
Disamping itu undang undang cukai yang baru, juga dapat menampung
hal-hal yang sebelumnya tidak ada, yaitu antara lain:
1) adanya pasal yang memungkinkan penambahan dan pengurangan
objek cukai.
2) adanya
pemberian fasilitas dibidang cukai, berupa:
§ Tidak
dipungut cukai ; dan
§ Pembebasan
cukai sebesar 100 %.
3) adanya
sanksi administrasi
4) adanya
audit dibidang cukai
5) adanya
Lembaga Banding (Lembaga Pertimbangan Bea dan Cukai)
6) adanya
ketentuan pidana, yaitu dalam hal: Tidak mengkualifikasi delik dalam
pelanggaran dan kejahatan, mengatur kedaluwarsa penuntutan (10 tahun), dan hukuman penjara sebagai
pengganti denda.
3.
Fungsi dan Tujuan Pengenaan
Cukai
Cukai
merupakan salah satu penerimaan pajak
yang memiliki karakteristik berbeda dengan penerimaan pajak lainnya.
Perbedaan karakteristik yang paling utama adalah adanya sifat diskriminatif
atau pemilihan yang selektif terhadap objek yang dikenakan pungutan cukai.
Secara umum, ada dua kontribusi utama pungutan cukai terhadap pembangunan.
Kontribusi pertama berkaitan dengan fungsi cukai sebagai alat budgetair
pemerintah. Kontribusi yang kedua
berkaitan dengan fungsi cukai sebagai alat
regulerend.
a.
Fungsi
Cukai Sebagai Alat Budgetair
Cukai merupakan salah satu jenis
pungutan pajak yang memiliki peranan cukup strategis sebagai sumber penerimaan
negara. Dalam struktur penerimaan APBN, cukai termasuk dalam kelompok
penerimaan pajak dalam negeri bersama-sama dengan penerimaan pajak lainnya,
antara lain: PPN, PPh, PBB dan pajak lainnya. Peran strategis cukai dalam
pembangunan berkaitan dengan fungsi budgetair dapat diilustrasikan dalam
Tabel 1.1 berikut.
Tabel I.1
Kontribusi
Penerimaan DJBC Terhadap Penerimaan Perpajakan
TAHUN
|
2007
|
2008
|
2009
|
2010
|
2011
|
2012*
|
Rata-Rata
|
Penerimaan Perpajakan
|
490.988
|
658.700
|
619.922
|
723.307
|
873.874
|
1.016.237
|
|
Cukai
|
44.679
|
51.252
|
56.719
|
66.166
|
77.010
|
83.267
|
|
Kontribusi Cukai (%)
|
9,10
|
7,78
|
9,15
|
9,15
|
8,81
|
8,19
|
8,70
|
Bea Masuk
|
16.699
|
22.764
|
18.105
|
20.017
|
25.266
|
24.738
|
|
Kontribusi Bea Masuk (%)
|
3,40
|
3,46
|
2,92
|
2,77
|
2,89
|
2,43
|
2,98
|
Bea Keluar
|
4.237
|
13.578
|
565
|
8.898
|
28.856
|
23.206
|
|
Kontribusi Bea Keluar (%)
|
0,86
|
2,06
|
0,09
|
1,23
|
3,30
|
2,28
|
1,64
|
Ket: *Data APBN
Berkaitan
dengan pengelolaan fiskal oleh DJBC, cukai merupakan. salah satu dari tiga jenis
pungutan negara yang dipungut oleh DJBC. Ketiga jenis pungutan pajak yang
dipungut dan dikelola administrasinya oleh DJBC adalah bea masuk, bea keluar
dan cukai. Kontribusi cukai memiliki peran yang sangat strategis khususnya dari
sisi penerimaan DJBC. Penerimaan yang
dihimpun oleh DJBC sebagian besar diperoleh dari sektor cukai dan secara
nominal nilainya selalu lebih besar dibanding penerimaan bea masuk atau bea keluar
dari waktu ke waktu. Berdasarkan data pada tabel 1.1, proporsi penerimaan cukai
sejak tahun 2007 rata-rata
hampir tiga kali lipat dari penerimaan bea masuk.
Disisi lain, kontribusi penerimaan cukai
terhadap penerimaan perpajakan juga memiliki andil yang cukup signifikan.
Berdasarkan resume yang ditampilkan pada tabel 1.1, terlihat bahwa sejak tahun
2007 hingga tahun 2012, kontribusi pungutan cukai mencapai rata-rata 8,70% dari
total penerimaan perpajakan. Angka ini jauh lebih besar bila dibandingkan angka
kontribusi bea masuk atau bea keluar.
b.
Fungsi
Cukai Sebagai Alat Regulerend
Disamping berfungsi sebagai alat
pengumpul penerimaan negara, cukai juga berfungsi sebagai instrumen kontrol
pemerintah terhadap pola perilaku konsumsi terhadap Barang Kena Cukai.
Kebijakan strategis pemerintah terhadap pungutan cukai tidak semata-mata
ditujukan untuk kepentingan penerimaan negara, namun pemerintah juga
memperhitungkan tujuan-tujuan lain seperti kesehatan masyarakat, pengendalian
dampak sosial, dan sebagainya.
B.
Definisi
Cukai dan Karakteristik BKC
1. Definisi
Cukai
Keberadaan pungutan cukai sebagai salah satu
jenis pajak yang dipungut oleh otoritas negara, tidak lepas dari konsep
pungutan pajak secara umum. Cukai adalah salah satu jenis pajak yang dipungut
oleh negara terhadap benda atau barang tertentu. Definisi pajak menurut Prof.
Adriani (dalam Brotodihardjo, 1995) adalah :
“iuran
kepada negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib
membayarnya, menurut
peraturan-peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang
langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan.”
Konsep ini menitikberatkan definisi pajak
dari sudut pandang budgetair, artinya
bahwa pajak dimaksudkan sebagai salah satu sumber penerimaan negara.
Sama halnya dengan pungutan pajak-pajak
lainnya, maka perlakuan pungutan cukai oleh pemerintah haruslah didasarkan atas
undang-undang. Ketentuan pasal 23A Undang-undang Dasar 1945 (hasil amandemen
ke-4) menyatakan bahwa: ”Pajak dan Pungutan lain yang bersifat memaksa untuk
keperluan negara diatur dengan Undang-undang”. Selanjutnya ketentuan dasar ini
ditindaklanjuti dengan menyusun Undang-undang nomor 11 Tahun 1995 tentang
Cukai, yang telah diamandemen dengan Undang-undang nomor 39 Tahun 2007.
Pasal 1
ad.1. UU Cukai :
Cukai
adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang
mempunyai sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang
Cukai.
|
Definisi ini memberikan penekanan bahwa
konsep dasar cukai pada hakekatnya adalah pungutan pajak yang bersifat objektif.
Pengertiannya bahwa, sifat pungutan cukai berpangkal pada objeknya, tanpa
memperhatikan keadaan diri dari si wajib cukai (subjeknya).
a.
Azas
Pemungutan Pajak
Prof.
Rachmat Soemitro dalam
bukunya “Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan”, Soemitro (1977)
memberikan pandangan mengenai azas pemungutan pajak yang dibedakan menjadi tiga
azas utama, yaitu:
1) Azas domisili.
Suatu pemungutan pajak dapat digantungkan pada domisili (tempat kediaman) dari
wajib pajak di suatu negara. Berdasarkan azas ini, suatu negara berhak untuk
mengenakan pungutan pajak terhadap setiap orang yang berdomisili di wilayahnya
atas semua pendapatan yang diperolehnya, dimana saja (world wide income). Dengan kata lain, orang asing pun dapat
dikenakan pungutan pajak jika berdomisili di Indonesia, tanpa harus menjadi
warga negara Indonesia.
2) Azas sumber.
Suatu pemungutan pajak yang digantungkan kepada adanya sumber-sumber pendapatan
yang diperoleh di suatu negara. Menurut azas ini, maka pemerintah Indonesia
berhak mengenakan pajak atas sumber-sumber pendapatan yang berada di Indonesia.
Contoh: warga negara asing bekerja di Indonesia, maka atas penghasilan yang
diperolehnya tersebut pemerintah berhak memungut pajak.
3) Asas kebangsaan.
Suatu pemungutan pajak yang digantungkan kepada status kewarganegaraan dari
seseorang yang memiliki pendapatan. Konsep pendapatan yang diperoleh dimanapun
seseorang berada (world wide income)
akan menjadi
objek pemungutan pajak oleh pemerintah dimana kewarganegaraan orang tersebut
berada. Azas ini diterapkan oleh pemerintah Amerika Serikat terhadap
penghasilan para warga negaranya.
b.
Azas
Pungutan Cukai
Berdasarkan konsep pembedaan pajak menurut
Prof. Adriani (dalam Brotodihardjo, 1995), cukai tergolong sebagai pajak objektif
yang dipungut berdasarkan pemakaian (pajak atas konsumsi). Ciri khas dari jenis
pajak objektif ini terletak pada titik tangkap utamanya, yaitu objek berupa
benda, keadaan, peristiwa atau perbuatan.
Undang-undang nomor 39 tahun 2007 tentang Perubahan atas
Undang-undang Nomor 11 tahun 1995 tentang Cukai memberikan batasan pemungutan
cukai terhadap Barang Kena Cukai (BKC) yang dibuat di Indonesia atau yang diimpor ke Indonesia. Ketentuan ini
secara spesifik diatur dalam pasal 3 Undang-undang Cukai, yang sekaligus
memberikan pengertian mengenai “titik tangkap (tatsbestaand)” mulai timbulnya utang cukai. Secara yuridis titik tangkap pungutan cukai
terjadi pada dua kondisi :
a) pada
saat selesai dibuat, atas BKC yang dibuat di Indonesia
b) pada saat pemasukannya ke dalam Daerah
Pabean, atas BKC yang diimpor sesuai dengan Undang-undang Kepabeanan
Menganalogikan pada pendapat Prof. Soemitro
mengenai azas pemungutan pajak, maka azas pungutan cukai yang berlaku di
Indonesia pada hakekatnya menerapkan azas domisili. Cukai hanya dipungut
terhadap BKC yang dibuat di Indonesia
atau yang dimasukan ke daerah pabean Indonesia. Sebagai pajak atas konsumsi,
pungutan cukai hanya dikenakan terhadap BKC yang dikonsumsi oleh setiap orang
yang berdomisili di Indonesia, baik sebagai warga negara Indonesia atau orang
asing.
Referensi rujukan terhadap konsep azas domisili dalam
sistem pemungutan cukai dapat dimaknai dari beberapa pasal yang diatur dalam Undang-undang
Cukai, antara lain:
a) Pasal
7 ayat (1): “Cukai atas BKC yang dibuat
di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran BKC dari pabrik atau tempat penyimpanan”.
b) Pasal
7 ayat 2: “Cukai atas BKC yang diimpor, dilunasi pada saat BKC diimpor untuk
dipakai”.
Dalam penjelasan pasal 7, dijelaskan bahwa yang
dimaksud dengan diimpor untuk dipakai adalah dimasukkan ke dalam daerah pabean
dengan tujuan untuk dipakai, dimiliki, atau dikuasai oleh orang yang berdomisili di Indonesia.
Menurut
konsep azas domisili, pungutan cukai dikenakan terhadap perbuatan mengkonsumsi
BKC oleh siapapun, baik warga negara Indonesia maupun orang asing yang
berdomisili atau bertempat tinggal di wilayah hukum Indonesia. Dengan demikian,
BKC yang dikeluarkan dari wilayah hukum Indonesia tidak akan dipungut cukai. Undang-undang
Cukai mengakomodasikan fasilitas tidak dipungut cukai terhadap BKC yang
diekspor, diangkut terus atau diangkut lanjut ke luar negeri dalam Pasal 8 ayat
(2).
2.
Karakteristik Cukai
Menurut Undang-undang Cukai, pungutan
cukai dikaitkan dengan sifat atau karakteristik yang ditetapkan dalam Undang-undang
Cukai. Adapun sifat atau karakteristik dasar pungutan cukai diatur dalam Pasal
2 Undang-undang Cukai, sebagai berikut:
Pasal 2:
Barang-barang
tertentu yang mempunyai sifat atau karakteristik:
a.
konsumsinya perlu dikendalikan;
b.
peredarannya perlu diawasi;
c.
pemakaiannya dapat menimbulkan dampak negatif bagi masyarakat
atau lingkungan hidup; atau
d.
pemakaiannya perlu pembebanan pungutan negara demi keadilan
dan keseimbangan.
dikenai
cukai berdasarkan undang-undang ini.
|
a.
Konsumsinya
perlu dikendalikan
Salah satu prinsip dasar pemungutan
cukai yang berlaku universal adalah adanya maksud “pembatasan” terhadap
konsumsi suatu produk. Otoritas negara menghendaki agar masyarakatnya tidak
mengkonsumsi secara berlebihan terhadap suatu produk. Alasannya dapat
bermacam-macam, antara lain: karena alasan kesehatan, sumber daya yang
terbatas, dan sebagainya.
Indonesia termasuk salah satu negara
yang menggunakan alasan pembatasan konsumsi dalam sistem pemungutan cukai.
Pungutan cukai dipakai sebagai instrumen fiskal yang akan membatasi konsumsi
terhadap barang-barang yang dapat merusak kesehatan, seperti: etil alkohol,
minuman mengandung etil alkohol (MMEA) dan produk hasil tembakau. Pungutan cukai cocok digunakan sebagai
instrumen pengendali konsumsi terutama di negara-negara berkembang oleh karena
pola behaviour konsumsi masyarakatnya
cenderung price sensitively. Apabila
beban cukai diterapkan dalam besaran yang tepat maka pola konsumsi masyarakat
cenderung akan menurun.
Khusus terhadap produk hasil
tembakau, organisasi kesehatan dunia (WHO) memberikan warning yang cukup tegas kepada otoritas negara-negara anggotanya
mengenai bahaya rokok bagi kesehatan. WHO telah merintis suatu Framework Convention on Tobacco Control
(FCTC) sejak tahun 1999. Pada akhirnya FCTC berhasil disepakati pada tanggal 28
Mei 2003 di Genewa dan mulai diberlakukan tanggal 27 Februari 2005. Hingga bulan Juli 2009, FCTC telah
diratifikasi oleh 166 negara. Posisi Indonesia sendiri hingga saat ini masih
belum menandatangani dan meratifikasi konvensi tersebut, walaupun kebijakan ke
arah tersebut sudah menjadi wacana yang cukup sering dibahas oleh otoritas
pemerintah.
Adapun hal-hal pokok yang direkomendasikan dalam FCTC
sebagai upaya pengendalian konsumsi rokok dunia, adalah sebagai berikut:
a) Penerapan
pajak yang tinggi dengan tujuan kesehatan.
Banyak negara-negara di dunia yang menggunakan cukai sebagai instrumen
pengendalian konsumsi produk hasil tembakau. Khusus di Indonesia, pemerintah
dapat menerapkan pungutan cukai dengan tarif maksimal sebesar 57% dari harga
jual eceran atau 275% dari harga jual pabrik.
b) Pelarangan
penjualan produk tembakau kepada anak dibawah umur. Dampak negatif produk hasil tembakau bagi kesehatan cukup
mengkhawatirkan. Beberapa referensi kesehatan menyebutkan bahwa konsumsi rokok
menjadi salah satu pemicu utama berbagai
penyakit berbahaya seperti: jantung, stroke,
hipertensi, kanker paru-paru,
dan sebagainya. Hasil kajian WHO menyebutkan bahwa tingkat konsumsi konsumsi
rokok di negara-negara Asia (negara berkembang) semakin meningkat, terutama
pada usia produktif. Kebiasaan merokok pada usia dini biasanya akan terus
dibawa hingga memasuki usia remaja karena sifat rokok dapat menimbulkan rasa
ketergantungan (addict). Pemerintah
Indonesia juga sudah menyadari dan peduli dengan dampak negatif produk hasil
tembakau. Bentuk kepedulian pemerintah tersebut tertuang dalam Peraturan
Pemerintah nomor No.19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok Bagi Kesehatan.
c) Pelarangan
penjualan produk hasil tembakau dalam batangan atau dalam jumlah kecil.
Salah satu faktor yang dapat meningkatkan jumlah konsumsi
produk hasil tembakau adalah kemudahan akses mendapatkan produk tersebut.
Apabila penjualan eceran produk hasil tembakau dilakukan dengan suatu kemasan
dalam jumlah kecil maka harganya relatif semakin terjangkau konsumen. Dampaknya
akan semakin meningkatkan jumlah konsumsi produk hasil tembakau, karena semakin
banyak orang yang mampu membeli produk murah tersebut.
b. Peredarannya perlu diawasi
Objek pungutan cukai tertentu yang
memiliki dampak langsung terhadap kehidupan masyarakat perlu dijaga dan diawasi
peredarannya. Tujuan utamanya adalah agar tidak menimbulkan gangguan pada
kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat.
Salah satu objek cukai yang memiliki kriteria ini adalah produk MMEA. Dampak
negatif yang dirasakan langsung oleh masyarakat terhadap peredaran MMEA yang
tidak terkontrol adalah timbulnya keresahan masyarakat.
Oleh karenanya otoritas pemerintah menetapkan
kebijakan memungut cukai sebagai salah satu upaya untuk mengontrol peredaran
MMEA di pasaran. Logika berfikirnya sederhana saja, apabila produk MMEA
dikenakan cukai maka harga
produk akan menjadi mahal. Harga produk yang mahal akan membatasi akses
masyarakat terhadap konsumsi MMEA.
Lantas, apakah karakteristik ini hanya
menyangkut BKC MMEA saja, bagaimana dengan produk hasil tembakau dan etil
alkohol? Pertanyaan ini mungkin muncul dalam benak anda. Kalau melihat dasar alasan pengenaan cukai
terhadap etil alkohol, kurang lebih hampir sama dengan dasar alasan pungutan
cukai terhadap MMEA. Hanya saja, etil alkohol bukan merupakan produk yang
langsung dapat dikonsumsi tetapi digunakan sebagai bahan baku atau bahan
penolong untuk keperluan industri.
Sama
seperti MMEA, peredaran etil alkohol juga diawasi oleh pemerintah. Bentuk
pengawasan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap MMEA dan Etil alkohol,
adalah:
§ pada
level distributor dan pengecer disyaratkan untuk memiliki ijin di bidang cukai
(Nomor Pokok Pengusaha Barang Kena Cukai);
§ pengangkutan
BKC etil alkohol dan MMEA walaupun sudah dilunasi cukainya wajib dilindungi
dokumen cukai. Untuk etil alkohol, dalam jumlah lebih dari 6 liter dan MMEA
dalam jumlah lebih dari 6 liter dan kadar lebih dari 5%.
Khusus
untuk produk hasil tembakau, alasan pengenaan cukainya lebih ditujukan pada
karakteristik pengendalian konsumsi dan juga karakteristik produk yang dapat
berdampak negatif bagi masyarakat dan lingkungan. Produk hasil tembakau juga dapat
menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan individu yang mengkonsumsinya dan
juga lingkungan sekitar. Akan tetapi, perlakuan pengawasan terhadap peredaran
produk hasil tembakau agak
sedikit berbeda.
Sejak
berlakunya Undang-undang Cukai pada tahun 1996, pelunasan cukai hasil tembakau
diaplikasikan dengan cara pelekatan pita cukai. Cara ini relatif lebih memudahkan
dibandingkan BKC yang kewajiban pelunasannya dilakukan dengan pembayaran. Oleh
karena status legalitas produk hasil tembakau mudah dikenali, maka pada level
distributor maupun pengecer tidak diwajibkan memiliki ijin khusus di bidang
cukai. Termasuk tidak adanya kewajiban melindungi dengan dokumen cukai terhadap
peredaran produk hasil tembakau.
c.
Pemakaiannya
dapat menimbulkan dampak negatif
Bila melihat cukai berdasarkan
prinsip dasar yang bersifat universal, pungutan cukai hanya dipungut terhadap
barang-barang tertentu (selective
coverage) sesuai dengan maksud-maksud yang diinginkan otoritas pemerintah (discremination in intents). Salah satu “intention” yang juga bersifat universal
adalah untuk membatasi barang-barang yang dapat berdampak negatif bagi
masyarakat dan lingkungan.
Pungutan cukai dapat digunakan
sebagai alat atau instrumen fiskal yang akan membebani pihak-pihak yang
menggunakan suatu produk yang berpotensi menimbulkan dampak negatif. Ketiga BKC
(etil alkohol, MMEA dan hasil tembakau) yang menjadi pilihan pemerintah
Indonesia untuk dikenakan cukai memiliki karakteristik dapat menimbulkan dampak
negatif. Etil alkohol dan MMEA memiliki dampak negatif terhadap kesehatan
individu dan juga dampak negatif terhadap kehidupan sosial masyarakat. Hasil
tembakau memiliki dampak negatif terhadap kesehatan individu dan juga kesehatan
masyarakat secara luas.
Esensi konsep “berdampak negatif”
dalam penerapan pungutan cukai pada hakekatnya memiliki makna yang lebih luas
daripada sekedar alasan berdampak negatif terhadap kesehatan saja. Apabila kita
melakukan benchmarking dengan sistem
pengenaan cukai di negara-negara lain maka akan ditemukan beberapa produk yang
mempertimbangkan dampak terhadap kesehatan dan lingkungan. Beberapa jenis
barang yang dipungut cukai, dapat dilihat dalam Tabel 1.2.
Tabel I.2
Jenis Barang yang Dipungut Cukai
Berdasarkan Dampaknya
No.
|
Alasan Pemungutan Cukai
|
Jenis barang yang dipungut cukai
|
Negara pemungut
|
1.
|
Alasan
kesehatan masyarakat
|
Produk
tembakau
|
Hampir
semua negara
|
Minuman
beralkohol
|
Hampir
semua negara
|
||
Sugar/saccharine
|
France,
Germany, India, Japan, Singapore, Malaysia
|
||
coffee
|
Japan
|
||
tea
|
Japan
|
||
2.
|
Alasan
lingkungan
|
semen
|
India,
Malaysia
|
Soap
|
India,
Malaysia
|
||
Electricity
|
Japan
|
||
Ban
|
Malaysia
|
||
Bahan
perusak ozon (Air Conditioner units)
|
Thailand,
Japan
|
||
Battery
|
India
|
||
3.
|
Alasan menjaga
kelestarian sumber daya)
|
Gasoline
|
Singapore,
Japan
|
Water
|
Singapore
|
||
Petroleum products
|
Thailand
|
||
Furs (bulu binatang), wood, timber
|
Japan
|
Sumber:
diolah dari berbagai sumber di web
d.
Pembebanan
atas dasar keadilan dan keseimbangan
Berdasarkan penjelasan Pasal 2 Undang-undang
Cukai, pengertian karakteristik ini mengacu pada status cukai sebagai instrumen
fiskal yang dapat dikenakan terhadap barang yang dikategorikan mewah dan/atau
bernilai tinggi, namun bukan merupakan kebutuhan pokok. Tujuan utamanya adalah
menjaga keseimbangan pungutan antara konsumen yang berpenghasilan tinggi dengan
konsumen yang berpenghasilan rendah.
Bila dikaitkan dengan instrumen fiskal lainnya maka
karakteristik dasar ini memiliki
kemiripan dengan karakteristik dasar pemungutan Pajak Penjualan Barang Mewah
(PPnBM). PPnBM merupakan jenis
pajak yang dipungut oleh Direktorat Jenderal Pajak.
Dasar hukum pemberlakuannya satu
paket dalam Undang-undang Pajak Pertambahan Nilai. Berbeda
dengan objek pungutan cukai, PPnBM dikenakan
terhadap objek
berupa:
1)
penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah yang dilakukan oleh Pengusaha yang menghasilkan BKP
yang tergolong mewah di dalam Daerah Pabean, dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya;
dan
2) impor BKP yang tergolong mewah.
PPnBM hanya dikenakan pada saat penyerahan BKP mewah oleh pabrikan dan pada saat impor BKP mewah. PPnBM tidak dikenakan lagi pada rantai penjualan
setelah itu. Berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 sebagaimana
telah diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009 tentang PPN dan
PPnBM, dasar pertimbangan pengenaan PPnBM adalah:
1) perlu keseimbangan pembebanan pajak antara konsumen yang
berpenghasilan rendah dengan konsumen yang berpenghasilan tinggi;
2) perlu adanya pengendalian pola konsumsi atas Barang Kena
Pajak yang tergolong Mewah;
3) perlu adanya perlindungan terhadap produsen kecil atau
tradisional;
4) perlu untuk mengamankan penerimaan negara;
Adapun
pengertian BKP Mewah
sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang PPN dan PPnBM adalah :
1) bahwa barang tersebut bukan merupakan barang kebutuhan
pokok; atau
2) barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat tertentu; atau
3) pada umumnya barang tersebut dikonsumsi oleh masyarakat
berpenghasilan tinggi; atau
4) barang tersebut dikonsumsi untuk menunjukkan status; atau
5) apabila dikonsumsi dapat merusak kesehatan dan moral
masyarakat, serta mengganggu ketertiban masyarakat, seperti minuman beralkohol
Dari uraian perbandingan antara cukai
dan PPnBM ini dapat disimpulkan bahwa beberapa karakteristik cukai dapat
beririsan dengan karakteristik pungutan PPnBM. PPnBM dikenakan dengan alasan
dasar “perlu keseimbangan
pembebanan pajak antara konsumen yang berpenghasilan rendah dengan konsumen
yang berpenghasilan tinggi”. Alasan ini juga ada pada pungutan cukai,
yaitu karakteristik “pembebanan atas dasar keadilan dan keseimbangan”. Selain
itu, PPnBM dipungut dengan maksud “pengendalian
pola konsumsi”. Alasan ini juga ada pada pungutan cukai,
yaitu karakteristik “pengendalian konsumsi”.
Apabila penerapan
cukai dan PPnBM dikenakan pada objek barang yang sama, maka hal ini akan
menimbulkan pungutan pajak berganda (double
taxation). Knechtle (1979) dalam bukunya yang berjudul ”Basic Problems
in International Fiscal Law”
mengulas pengertian pajak berganda, sebagai berikut:
1) dalam
arti yang luas, pajak berganda adalah bentuk pembebanan pajak dan pungutan
lainnya lebih dari satu kali, yang dapat berganda atau lebih atas suatu fakta
fiskal.
2) dalam
arti yang sempit, pajak berganda adalah semua kasus pemajakan beberapa kali
terhadap suatu subjek dan/atau objek pajak dalam satu administrasi pajak yang
sama, yang mengesampingkan pembebanan pajak oleh pemerintah daerah.
Dampak langsung yang
ditimbulkan dari pungutan pajak berganda akan dirasakan oleh wajib pajak. Beban
pajak yang dipikul menjadi semakin berat.
C. Konsep Lingkaran Cukai
Dalam
konsep perpajakan, timbulnya utang pajak (taatbestand) menjadi titik awal bagi fiskus (pemungut pajak) untuk
melakukan proses pengawasan terhadap objek pajak. Selanjutnya, titik pengawasan berikutnya
beralih kepada saat
pelunasan, fasilitas cukai, saat penagihan, pengembalian hingga kedaluwarsanya
pungutan pajak. Rangkaian proses kegiatan inilah yang dikenal sebagai tax circle atau lingkaran pajak.
Menganalogikan konsep tax circle
tersebut, maka dapat didefinisikan konsep lingkaran cukai. Gambaran sederhana
lingkaran cukai, dapat dilihat dalam gambar 1.1 berikut.
1. Saat
Timbulnya Utang
Cukai
Proses lingkaran cukai akan selalu diawali dengan timbulnya
suatu peristiwa atau perbuatan yang dapat menimbulkan utang pajak (tatbestand). Utang cukai inilah yang menjadi pangkal semua kegiatan.
Sebagai ilustrasi: perbuatan membuat BKC akan menimbulkan utang cukai. Selanjutnya ketika BKC tersebut akan dikeluarkan
dari pabrik maka muncul kewajiban pelunasan cukai. Akan tetapi dapat saja
kewajiban pelunasan tidak perlu dilakukan ketika BKC mendapat fasilitas cukai.
Begitu seterusnya, hingga timbulnya kedaluwarsa atas utang cukai yang
timbul.
Timbulnya kewajiban cukai untuk BKC diatur dalam pasal 3 ayat
(1) Undang-undang Cukai, sebagai berikut:
Pasal 3 ayat (1):
Pengenaan
cukai mulai berlaku untuk Barang Kena Cukai yang dibuat di Indonesia pada
saat selesai dibuat dan untuk Barang Kena Cukai yang diimpor pada saat
pemasukannya ke dalam Daerah Pabean sesuai dengan ketentuan Undang-undang
tentang Kepabeanan.
|
Penegasan saat pengenaan cukai atas suatu barang yang
ditetapkan sebagai BKC adalah penting karena sejak saat itulah secara yuridis
telah timbul utang cukai sehingga perlu dilakukan pengawasan terhadap barang
tersebut sebab terhadapnya telah melekat hak-hak negara. Pengertian
yang dapat dipahami dari bunyi pasal tersebut adalah konsep waktu mengenai saat
timbulnya utang cukai atas BKC yang dibuat di Indonesia.
Untuk
BKC yang dibuat di Indonesia, terutang cukai pada saat selesai dibuat. Istilah
“selesai dibuat” dalam
penjelasan pasal ditafsirkan sebagai “saat proses pembuatan BKC itu selesai
dengan tujuan untuk dipakai”. Untuk pengertian mengenai istilah saat terutang
cukai terhadap BKC impor, pengertiannya sama dengan hal-hal yang dijelaskan
dalam Undang-undang Kepabeanan.
Bila pengertian selesai dibuat tersebut kita kaitkan dengan
masing-masimg BKC maka penulis memaknai pengertian tersebut sebagai berikut:
a) Pengertian
“selesai dibuat” untuk BKC etil alkohol adalah saat proses produksi telah
menghasilkan etil alkohol (C2H5OH) atau dalam konsep sederhananya adalah saat
etil alkohol tersebut menetes dari tangki-tangki produksi untuk ditempatkan
kedalam wadah penampungan atau tangki penyimpanan barang jadi.
b) Pengertian
“selesai dibuat” untuk produk BKC MMEA adalah pada saat MMEA tersebut keluar
dari keran-keran produksi untuk ditempatkan ke dalam wadah penampungan atau
dikemas secara langsung.
c) Pengertian
“selesai dibuat” untuk produk hasil tembakau adalah pada saat proses produksi
hasil tembakau telah menghasilkan produk hasil tembakau yang siap untuk
dikonsumsi. Dalam hal ini ada dua pendapat yang
berbeda mengenai konsep selesai dibuat. Pendapat pertama yang mengatakan bahwa
saat selesai dibuat untuk hasil tembakau adalah “saat dibungkus untuk penjualan
eceran”. Konsep ini dikaitkan dengan fungsi pabrik sebagai tempat dilakukannya
produksi hasil tembakau untuk penjualan eceran. Bila dikaitkan dengan konsep
“selesai dibuat” dalam Ordonansi Cukai yang lama, pengertian ini harus dimaknai
sebagai “saat BKC selesai dikemas untuk penjualan eceran”.
Pendapat kedua,
beranggapan bahwa saat selesai dibuat untuk produk hasil tembakau adalah saat
hasil tembakau telah menjadi batang-demi batang atau saat tembakau iris telah
dipisahkan dalam satuan gram tertentu. Sebagai
contoh: untuk sigaret, saat selesai dibuat adalah saat proses pelintingan dan
pemotongan telah selesai sehingga sigaret tersebut sudah berbentuk batang demi
batang. Hal ini dapat dikuatkan dengan adanya kewajiban pabrikan hasil tembakau
untuk menyampaian pemberitahuan BKC selesai dibuat (dengan dokumen CK-4C) dalam
format laporan jumlah satuan batang hasil tembakau yang diproduksi. Dalam hal BKC
yang telah selesai dibuat yang masih berada di dalam pabrik ternyata telah
dikonsumsi sebelum dikeluarkan dari pabrik, maka terhadap BKC tersebut dianggap
telah dikeluarkan. Oleh karenanya, pengusaha pabrik wajib
melunasi utang cukai yang timbul atas BKC yang selesai dibuat tersebut. Dalam hal ini, petugas Bea dan cukai
berwenang untuk melakukan pengawasan terhadap BKC yang sudah berstatus terutang
cukai. Bentuk pengawasan yang paling
sederhana adalah dengan mewajibkan pengusaha pabrik untuk melaporkan jumlah
produksi BKC yang dihasilkan setiap harinya dengan menggunakan dokumen CK-4.
2. Saat
Pelunasan Cukai
Ketentuan mengenai saat pelunasan cukai dan cara pelunasan
cukai diatur dalam pasal 7 Undang-undang Cukai, yaitu :
Pasal 7 ayat
(3):
1)
Cukai atas barang kena cukai yang dibuat
di Indonesia, dilunasi pada saat pengeluaran barang kena cukai dari pabrik
atau tempat penyimpanan.
2)
Cukai atas barang kena cukai yang diimpor
dilunasi pada saat barang kena cukai diimpor untuk dipakai.
|
3.
Saat Penagihan Cukai
Utang Cukai timbul karena adanya suatu peristiwa tatbestand berdasarkan Undang-undang
Cukai, yaitu memproduksi BKC di pabrik atau memasukan BKC ke dalam daerah
pabean. Untuk BKC yang dibuat di pabrik, timbulnya utang cukai tidak langsung
diikuti dengan proses penagihan cukai selama BKC tersebut belum dikeluarkan.
Penagihan cukai mulai dilakukan mana kala kewajiban-kewajiban cukai tidak
dilunasi setelah 30 (tiga puluh)
hari sejak tanggal diterimanya surat tagihan.
4.
Perlakuan Fasilitas
Cukai
BKC yang selesai dibuat yang masih berada di dalam pabrik,
pada dasarnya bisa dikeluarkan dengan mendapat fasilitas cukai. Perlakuan
fasilitas cukai merupakan bentuk pengecualian dari kewajiban pembayaran cukai
yang timbul. Ada dua bentuk perlakuan fasilitas cukai yang diberikan oleh Undang-undang
Cukai, yaitu: fasilitas tidak dipungut cukai (Pasal 8) dan pembebasan cukai
(Pasal 9).
5.
Pengembalian Cukai
Untuk
mewujudkan rasa keadilan kepada subjek cukai, maka terhadap kelebihan pembayaran cukai dan juga
kondisi-kondisi pembayaran yang tidak seharusnya dilakukan diberikan perlakuan
pengembalian. Pasal 12 UU Cukai mengatur secara eksplisit kategori pembayaran cukai
yang mendapat pengembalian.
6. Saat Kedaluwarsanya Utang Cukai
Alur proses terakhir yang terkait dengan konsep lingkaran
cukai adalah penetapan masa kedaluwarsanya suatu tagihan cukai. Pengertian kedaluwarsa
adalah jangka waktu berakhirnya bagi negara untuk melaksanakan hak penagihan
atas utang cukai. Kedaluwarsa tagihan cukai menjadi titik terakhir yang
menyebabkan utang cukai menjadi selesai.
Pasal 13 Undang-undang
Cukai memberikan penegasan waktu berkaitan dengan kedaluwarsa hak menagih
pungutan cukai, sebagai berikut:
Pasal 13:
1)
Hak menagih utang
berdasarkan Undang-undang ini menjadi kedaluwarsa setelah sepuluh tahun
sejak timbulnya kewajiban membayar;
2)
Masa kedaluwarsa
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dapat diperhitungkan dalam hal ada
pengakuan utang.
|
SUMBER : Bahan Ajar Pengantar Cukai, Suronoi
0 comments:
Posting Komentar